Lumajang, MCE - Tahukah kamu kalau Indonesia ternyata punya “Amazon” versi sendiri? Bukan di Kalipmantan atau Papua, tetapi tersembunyi di sebuah sudut tenang Kecamatan Tempursari, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Di balik bentang hijau yang memeluk pegunungan dan aliran sungai yang jernih, kawasan ini menyimpan keindahan alami yang membuat siapa saja terkesima. Sebuah pelarian sempurna dari kepadatan rutinitas modern.
Bayangkan kamu menyusuri sungai yang jernih, diapit pepohonan rimbun yang seolah membentuk lorong hijau alami. Suara air mengalir berpadu semilir angin hutan menjadi simfoni alam yang memanjakan telinga. Cahaya matahari menyusup di sela-sela daun, memantulkan kilau keemasan di permukaan air. Setiap langkah membawa kesunyian yang membahagiakan.
Di sana, waktu seakan berhenti. Tak ada hiruk-pikuk kendaraan, tak terdengar deru mesin. Yang ada hanyalah desiran alam, aroma tanah basah, dan harmoni yang membuatmu ingin duduk diam, menghirup dalam-dalam ketenangan yang jarang ditemukan di kota.
Menyusuri “Amazon”-nya Lumajang adalah seperti membaca puisi alam tanpa kata. Sungai yang melengkung lembut seolah memandu siapa saja yang datang untuk tenggelam dalam keheningan. Airnya bening, menampilkan dasar sungai yang dipenuhi batu-batu kecil yang mengilap diterpa cahaya.
Tak hanya indah, kawasan ini juga membawa sensasi petualangan. Beberapa bagian sungai bisa diarungi dengan perahu kecil, menyusuri jalur air yang membelah hutan lebat. Daun-daun bergoyang pelan seiring laju arus, dan kadang, seekor burung elang melintas tinggi, seperti penjaga alam yang setia.
Muhammad Luqman, konten kreator asal Lumajang, menyebut kawasan ini sebagai "surganya footage alami." Menurutnya, setiap sudut Tempursari menyuguhkan lanskap sinematik yang tak perlu filter. Bahkan, tanpa editan pun, hasil tangkapan kamera sudah seperti adegan film dokumenter.
Penduduk setempat pun hidup berdampingan dengan alam, menjaga dan merawatnya seperti bagian dari keluarga. Mereka percaya bahwa laut, hutan dan sungai adalah warisan leluhur yang harus dijaga agar anak cucu kelak masih bisa menikmati keindahannya. Tak heran, suasana di sini masih terasa perawan.
Langit Tempursari pada sore hari menghadirkan lukisan alam yang memukau. Gradasi warna oranye, merah muda, dan ungu seolah melukis langit menjadi kanvas raksasa. Ditambah dengan bayangan pohon yang menjulur ke sungai, suasananya membuat siapa pun yang melihat terpaku dalam kekaguman.
Ketika malam tiba, bintang-bintang bertaburan di langit yang gelap tanpa polusi cahaya. Suara jangkrik dan gemericik air menjadi lullaby alami. Tidur di tenda di tepi sungai menjadi pengalaman yang tak tergantikan. Rasanya seperti kembali ke pelukan bumi, jauh dari kebisingan dunia modern.
Tak ada sinyal kuat di sini, dan justru itulah keindahannya. Di tempat ini, manusia benar-benar hadir untuk menikmati, bukan mengabadikan. Di sini, kamu tak hanya melihat keindahan, tapi benar-benar merasakannya dengan seluruh indera.
Pagi di Tempursari disambut dengan kabut tipis yang menggantung di atas air. Udara dingin yang menyentuh kulit seolah membangunkan setiap sel tubuh. Secangkir kopi panas di tepian sungai, ditemani suara alam, adalah kemewahan yang tak bisa dibeli di kafe mana pun.
Setiap pengunjung yang datang biasanya membawa pulang satu hal, yakni kerinduan. Kerinduan untuk kembali, untuk sekali lagi merasakan kedamaian yang tak tergantikan. Karena keindahan Tempursari bukan hanya ada di pandangan mata, tapi juga menyentuh relung jiwa.
“Amazon-nya Lumajang” bukan cuma julukan. Ia nyata. Ia hidup. Ia menunggu siapa saja yang ingin kembali menyatu dengan alam. Sebuah tempat di mana alam bicara dalam keheningan, dan manusia belajar untuk mendengarkan kembali. (fyan).