Jakarta, MCE - Senin, 25 Agustus, udara Jakarta terasa lebih pekat dari biasanya. Bukan hanya oleh polusi, melainkan juga oleh ketegangan yang menggantung di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ribuan massa aksi dari berbagai elemen masyarakat tumpah ruah, membawa spanduk-spanduk yang memuat pertanyaan-pertanyaan tajam, bahkan tudingan-tudingan pedas. Mereka datang dengan satu tujuan: mempertanyakan keadilan yang semakin terasa jauh. Selasa (26/8/2025).
Aksi damai yang dimulai dengan orasi-orasi berapi-api itu lambat laun berubah menjadi gelombang kekecewaan. Puncaknya, ketika para demonstran mencoba merangsek mendekati gerbang utama. Barikade aparat kepolisian yang tebal dan ketat menjadi penghalang. Dialog yang diharapkan tidak terjadi, yang ada hanyalah teriakan-teriakan yang disusul dengan dorongan dan bentrokan. Botol-botol air mineral melayang, dan perisai-perisai polisi beradu dengan keinginan massa. Kericuhan tak terhindarkan. Suara sirine berbalut dengan makian, menciptakan simfoni kekacauan yang ironisnya terjadi di tempat di mana suara rakyat seharusnya didengar.
Pemicu utama gejolak ini bukanlah hal yang baru, namun kini terasa lebih menyengat. Berita yang beredar menyebutkan bahwa gaji dan tunjangan anggota dewan mencapai angka yang fantastis, bahkan melebihi Rp100 juta per bulan. Angka ini seakan menjadi tamparan keras bagi jutaan rakyat yang masih berjuang di bawah garis kemiskinan, mencari nafkah dengan susah payah untuk sekadar menyambung hidup.
"Rp100 juta! Apa yang sudah mereka lakukan dengan gaji sebesar itu? Sementara kami, rakyat kecil, harus berjuang mati-matian hanya untuk makan," teriak salah satu orator dari atas mobil komando, suaranya pecah di tengah riuh rendah massa. "Mereka duduk nyaman di kursi empuk ber-AC, sementara kami harus berpanas-panasan, bermandikan keringat, dan tetap saja kekurangan. Ini tidak adil!"
Massa aksi merasa ada jurang yang menganga lebar antara kehidupan mereka dan kehidupan para wakil rakyat yang seharusnya mereka pilih. Setiap kebijakan yang dibuat, setiap undang-undang yang disahkan, seakan-akan tidak lagi berpihak kepada kepentingan rakyat. Aksi ini bukan hanya soal gaji, melainkan juga soal ketidakpercayaan yang sudah menumpuk. Ini adalah ekspresi dari rasa frustrasi yang mendalam terhadap sebuah sistem yang mereka anggap rusak.
Di balik kericuhan yang terlihat di permukaan, sesungguhnya ada pesan yang lebih dalam. Aksi di depan Gedung DPR itu adalah simbol dari jeritan rakyat yang merasa diabaikan. Itu adalah sebuah peringatan keras bagi para pemegang kekuasaan bahwa mata rakyat terus mengawasi, dan kesabaran mereka ada batasnya. Mungkin kericuhan bisa diredam, massa bisa dipukul mundur, tapi api kekecewaan itu tidak akan pernah padam, selama keadilan masih menjadi barang langka di negeri ini. (bp).
Aksi di Gedung Parlemen, Gaji Fantastis di Tengah Jerit Rakyat
4/
5
Oleh
Admin