Jakarta, MCE - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan taringnya dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam. Pada Kamis, 21 Agustus 2025, KPK resmi menahan seorang pengusaha swasta berinisial ROC sebagai tersangka kasus suap terkait perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kalimantan Timur. Kasus ini menyoroti kembali kerentanan proses perizinan yang sering menjadi celah bagi praktik korupsi. Selasa (26/8/2025).
ROC, yang dikenal sebagai pengusaha di sektor pertambangan, diduga menyuap sejumlah pejabat demi memuluskan permohonan perpanjangan enam IUP miliknya yang berlokasi di Kalimantan Timur untuk periode 2013-2018. Proses perpanjangan izin yang seharusnya transparan dan sesuai prosedur justru diduga menjadi arena tawar-menawar ilegal.
Untuk "melancarkan" urusannya, ROC diduga menggelontorkan uang suap sebesar Rp6,5 miliar. Dana tersebut tidak mengalir ke satu pihak, melainkan dibagikan kepada tiga pejabat penting di lingkup pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur: AFI, yang menjabat sebagai Gubernur Kaltim selama dua periode (2008-2018 & 2019-2024), AMR, Kepala Dinas ESDM Kaltim, dan MTA, Kepala Seksi Pengusahaan Dinas ESDM Kaltim. Aksi ini menunjukkan bagaimana praktik suap dapat menyebar dan melibatkan berbagai level jabatan, dari kepala daerah hingga pejabat teknis di dinas terkait.
Kasus ini menjadi cermin betapa vitalnya perbaikan tata kelola di sektor perizinan, terutama yang menyangkut sumber daya alam. Perizinan yang rumit dan kurangnya pengawasan sering kali dimanfaatkan oleh oknum untuk mencari keuntungan pribadi. Menanggapi hal ini, KPK menegaskan komitmennya untuk tidak hanya menindak pelaku korupsi, tetapi juga memberikan rekomendasi perbaikan tata kelola kepada instansi terkait. Tujuannya jelas: menutup celah-celah korupsi agar kekayaan alam Indonesia benar-benar dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan demi kepentingan segelintir elite.
Penangkapan ROC adalah pengingat bahwa upaya pemberantasan korupsi adalah perjuangan tanpa henti. Ini adalah langkah awal untuk membongkar jaringan yang lebih besar, memastikan setiap proses perizinan dilakukan secara jujur, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem pemerintahan. (bp).
Sumber: KPK