Sidoarjo, MCE - Senin, 6 Oktober 2025. Tanggal itu akan selamanya terukir dengan tinta duka dalam sejarah bangsa. Bukan sebagai peringatan hari besar, melainkan sebagai penanda tragedi kemanusiaan yang merenggut puluhan nyawa di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo yang roboh pada 30/9/2025. Hingga hari itu, operasi pencarian dan evakuasi harus dihentikan sementara, menyisakan kegetiran yang tak terperikan setelah tim SAR gabungan mengumumkan angka yang mengguncang: 63 korban tewas telah berhasil diangkat dari balik onggokan beton dan puing-puing. Selasa (7/10/2025).
Tragedi ini berawal dari keruntuhan mendadak bangunan utama kompleks pesantren yang terjadi pada dini hari. Saat kebanyakan santri dan pengajar tengah terlelap dalam tidur, mimpi indah mereka seketika berubah menjadi mimpi buruk yang memekakkan telinga. Suara gemuruh dahsyat yang menyayat keheningan malam diikuti dengan jeritan dan tangisan, mengawali babak paling gelap dalam sejarah Ponpes Al Khoziny.
Area yang dulunya ramai dengan lantunan ayat suci dan gelak tawa para santri kini sunyi, hanya diisi oleh suara alat berat dan desahan lelah para relawan. Debu tebal menyelimuti segalanya, menjadi saksi bisu betapa cepatnya kehidupan bisa direnggut. Setiap kali tim evakuasi berhasil mengangkat satu jenazah, bukan sorak kemenangan yang terdengar, melainkan isak tangis pilu yang pecah dari sanak keluarga yang setia menanti di luar garis keamanan.
Korban yang tewas adalah mereka yang seharusnya menjadi generasi penerus, para calon ulama dan pemimpin masa depan. Mereka datang dari berbagai pelosok negeri, membawa harapan besar orang tua untuk mendalami ilmu agama. Namun, takdir berkata lain. Harapan itu kini terkubur bersama reruntuhan, meninggalkan lubang menganga di hati keluarga dan seluruh komunitas pesantren.
Dengan bertambahnya jumlah korban, fokus pun mulai bergeser. Selain duka dan simpati, kini muncul pertanyaan besar yang menggantung di udara: Apa yang menyebabkan bangunan vital ini ambruk? Penyelidikan teknis telah dimulai untuk mengusut dugaan kelalaian konstruksi, faktor usia bangunan, atau bahkan potensi faktor alam. Masyarakat menuntut jawaban yang transparan dan akuntabel. Tragedi ini bukan hanya soal korban, tapi juga tentang pertanggungjawaban agar musibah serupa tak terulang.
Kepala daerah setempat telah menetapkan masa berkabung selama tujuh hari. Bendera setengah tiang dikibarkan, bukan sekadar simbol, melainkan manifestasi dari duka kolektif yang dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Donasi dan bantuan terus mengalir deras, menunjukkan solidaritas bangsa di tengah cobaan berat.
Tragedi Ponpes Al Khoziny adalah pengingat pahit tentang kerapuhan hidup dan pentingnya integritas dalam pembangunan. Angka 63 bukan sekadar statistik; itu adalah 63 kisah yang terhenti, 63 impian yang lenyap, dan 63 keluarga yang hancur. Saat debu mulai mengendap, yang tersisa adalah tugas berat untuk mengobati luka batin, membangun kembali, dan memastikan keadilan ditegakkan bagi setiap jiwa yang gugur dalam tragedi memilukan ini.
Semoga para korban mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, dan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan. (bp).