Minggu, 16 November 2025

​Gelora Adat di Tapal Batas, Reog dan Wayang Kulit 'Sambut' HJB ke-348 di Kedungadem




​BOJONEGORO, MCE - Malam itu, Dusun Ngaglik, Desa Kedungadem, Kecamatan Kedungadem, Bojonegoro, seolah menjelma menjadi panggung raksasa yang menyalakan kembali jiwa kebudayaan Jawa. Dinginnya udara malam Sabtu (15/11/2025) tak mampu meredam antusiasme ribuan pasang mata yang berkumpul. Mereka datang, memadati halaman Pendopo Yayasan "Gandul Roso," bukan sekadar untuk menonton, melainkan untuk merasakan denyut nadi sejarah yang kembali berdetak kencang.


​Inilah perayaan Hari Jadi Bojonegoro (HJB) yang ke-348 di Ngaglik-Kedungadem. Jika Bojonegoro kota merayakannya dengan kembang api dan konser modern, Dusun Ngaglik memilih untuk kembali ke akar, menggelar Pesta Rakyat yang sarat makna dan tradisi: sebuah persembahan kolosal berupa Pagelaran Reog dan Wayang Kulit.


​Sejak senja berganti pekat, suara gemuruh musik gamelan sudah menyambut. Panggung pertama dibuka oleh atraksi Reog. Raungan Singo Barong dengan tarian Dadak Merak yang ikonik, diiringi irama kendang dan saron yang menghentak, sukses menciptakan suasana mistis nan heroik. Setiap gerakan penari, setiap kibasan bulu merak, dan setiap lengkingan suara warok, menceritakan kisah keberanian dan keperkasaan. Pertunjukan ini bukan hanya sekadar tontonan, melainkan sebuah simbol semangat juang yang telah diwariskan turun-temurun, sebuah penghormatan kepada para leluhur yang mendirikan Bumiku Bojonegoro.


​Anak-anak, remaja, hingga orang tua, semua terbius. Wajah-wajah mereka memancarkan kebanggaan menyaksikan kesenian asli Nusantara yang terus hidup dan bergelora di tengah gempuran zaman. Kehadiran Reog di perayaan HJB ke-348 ini menegaskan bahwa Bojonegoro adalah penjaga setia tradisi.


​Setelah euforia Reog mereda, suasana berganti menjadi lebih khidmat. Di hadapan layar putih yang terbentang, seorang Dalang yang piawai mulai menata panggungnya. Inilah pertunjukan utama yang ditunggu-tunggu: Wayang Kulit.


​Di bawah sorot lampu yang memproyeksikan bayang-bayang figur kulit, kisah-kisah adiluhung dari Mahabharata atau Ramayana mulai dihidupkan. Jemari sang Dalang menari lincah, menghidupkan Prabu, Satria, hingga Punakawan. Tawa riang penonton pecah saat Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong menyampaikan piwulang (ajaran) dan kritik sosial dengan gaya kocak mereka.


​Pagelaran Wayang Kulit di Kedungadem malam itu berfungsi sebagai media komunikasi budaya dan moral. Melalui lakon yang dibawakan, terselip pesan-pesan mendalam tentang kepemimpinan, integritas, persatuan, dan penghormatan terhadap alam. Bagi warga, ini adalah kesempatan berharga untuk ngaji budaya, merenungkan nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi kehidupan bermasyarakat.


​Dipilihnya Pendopo Yayasan "Gandul Roso" di Ngaglik-Kedungadem sebagai lokasi acara menunjukkan komitmen pemerintah dan masyarakat Bojonegoro untuk merayakan hari jadi secara merata, menjangkau hingga ke tapal batas wilayah. Pesta rakyat ini berhasil menciptakan simpul kebersamaan yang kuat.


​Selama pagelaran berlangsung, aroma jajanan tradisional berpadu dengan wanginya dupa, menciptakan orkestra sensorik yang membawa hadirin kembali ke masa lampau. Ribuan orang yang berdesakan menjadi bukti bahwa kesenian tradisional, ketika disajikan dengan hati, mampu menyatukan berbagai lapisan masyarakat.


​HJB ke-348 yang dimeriahkan oleh Reog dan Wayang Kulit di Kedungadem bukan hanya sekadar acara, melainkan sebuah deklarasi bahwa warisan budaya adalah harta tak ternilai yang akan terus dijaga, dirayakan, dan diwariskan, memastikan bahwa gelora adat di Bumi Angling Dharma akan terus menyala. (bp). 

Artikel Terkait

​Gelora Adat di Tapal Batas, Reog dan Wayang Kulit 'Sambut' HJB ke-348 di Kedungadem
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email

Berita Terbaru