Lamongan, MCE - Suara protes di Kecamatan Brondong, Lamongan, kini bergemuruh lebih keras dari debur ombak. Ratusan nelayan, yang selama ini menggantungkan hidup pada laut, kini berhadapan dengan tembok beton. Mereka mengultimatum Dinas Perhubungan (Dishub) Jawa Timur untuk segera menghentikan proyek pembangunan Pelabuhan Brondong senilai Rp9,73 miliar. Proyek ini, yang seharusnya membawa kemajuan, justru menjadi malapetaka karena mematikan akses vital mereka. Jumat (8/8/2025).
Proyek yang dikerjakan oleh CV. Putra Kembar ini bagaikan pukulan telak. Akses keluar-masuk perahu nelayan ditutup total tanpa sosialisasi resmi. Akibatnya, aktivitas sandar dan bongkar muat hasil tangkapan yang menjadi urat nadi ekonomi ribuan warga seketika terhenti. Bukan hanya ikan, tetapi juga udang dan hasil laut lain yang menjadi pemasukan harian kini tertahan. Hal ini langsung memukul telak kondisi ekonomi mereka.
"Kami merasa dilangkahi, mata pencarian kami langsung terancam," tegas M. Ali Fauzi, Ketua Rukun Nelayan Desa Sedayulawas, dengan nada kecewa. "Hentikan proyek ini sampai ada penjelasan resmi dan kesepakatan dengan warga!"
Proyek ini tidak hanya mengancam pendapatan harian, tetapi juga stabilitas sosial di tengah masyarakat. Para nelayan, yang sebagian besar hidup pas-pasan, kini menghadapi ketidakpastian. Uang untuk kebutuhan pokok, pendidikan anak, dan biaya sehari-hari terancam. Jika masalah ini terus berlarut, bukan tidak mungkin ketegangan di antara warga akan meningkat.
Di sisi lain, proyek pembangunan ini memiliki tujuan mulia. Berdasarkan data di papan proyek, Pelabuhan Brondong bernilai Rp9,73 miliar, bersumber dari APBD 2025, dengan masa pelaksanaan 180 hari kalender sejak 15 Mei 2025. Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan fasilitas pelabuhan, sehingga dapat menunjang kegiatan perikanan yang lebih modern dan efisien di masa depan. Namun, tanpa komunikasi yang baik, proyek ini justru menimbulkan polemik. Pihak pengembang berjanji akan menggelar sosialisasi, tetapi warga menilai janji itu hanya retorika belaka dan menuntut bukti nyata.
Informasi yang terbatas dan pernyataan Kasatpol Airud Lamongan AKP I Nyoman Ardita yang mengaku tidak tahu menahu semakin menambah kekecewaan. Jika hak-hak nelayan terus diabaikan, mereka mengancam akan meningkatkan aksi protes mereka. Situasi ini adalah peringatan serius bagi pemerintah provinsi untuk segera turun tangan, menghentikan pekerjaan, dan membuka dialog yang transparan. Tanpa langkah cepat, proyek miliaran rupiah ini berpotensi memicu gejolak sosial yang lebih besar, mengancam ketenangan di pesisir Lamongan.
Dampak Ekonomi Jangka Panjang dan Solusi dari Nelayan
Dampak dari proyek yang bermasalah ini tidak hanya dirasakan saat ini. Para nelayan khawatir, penutupan akses ini akan mengganggu ekosistem perikanan di sekitar pelabuhan. Pembangunan yang tidak terencana dengan baik bisa mengubah arus air, mengancam tempat berkembang biak ikan, dan pada akhirnya mengurangi hasil tangkapan secara permanen. Hal ini akan memukul sektor perikanan Brondong yang sudah menjadi tulang punggung ekonomi.
Para nelayan menuntut tanggung jawab dan solusi konkret. Mereka tidak menolak pembangunan, tetapi menuntut agar proyek tersebut dilakukan secara transparan dan manusiawi. Beberapa solusi yang mereka tawarkan antara lain:
Penghentian Proyek Sementara: Menghentikan pekerjaan hingga tercapai kesepakatan dan jalur alternatif bisa disiapkan.
Dialog Transparan: Pemerintah provinsi dan kontraktor harus duduk bersama dengan perwakilan nelayan untuk merancang ulang tata letak proyek agar tidak mengganggu akses vital.
Jalur Alternatif: Jika pembangunan tidak dapat dihentikan, harus ada kompensasi dan jalur keluar-masuk perahu yang baru dan layak.
Tuntutan ini menunjukkan bahwa nelayan di Brondong bukan hanya menuntut hak mereka, tetapi juga menawarkan jalan keluar untuk menghindari konflik yang lebih besar. (s_genk).