Jakarta, MCE -Sejak tahun 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 485 orang dari sektor swasta sebagai tersangka kasus korupsi. Angka yang mencengangkan ini bukanlah sekadar statistik, melainkan cerminan dari sebuah kenyataan pahit: korupsi di Indonesia tidak hanya didominasi oleh aparat pemerintah, tetapi juga merajalela di kalangan pengusaha. Fakta ini menjadi alarm yang berbunyi sangat keras, mengingatkan kita semua bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah tuntas jika hanya menyentuh satu sisi. Sektor swasta, yang seharusnya menjadi pilar ekonomi dan motor penggerak pembangunan, justru seringkali menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Jumat (29/8/2025).
Mata rantai korupsi antara pejabat publik dan pihak swasta adalah simbiotik. Pejabat bisa saja meminta suap atau gratifikasi, tetapi tanpa pengusaha yang bersedia memberikannya, praktik itu tidak akan pernah terjadi. Demikian pula sebaliknya, pengusaha yang ingin memuluskan proyek, memenangkan tender, atau mendapatkan perlakuan khusus, akan mencari celah untuk menyuap. Siklus jahat ini terus berputar, merusak persaingan sehat, mematikan inovasi, dan pada akhirnya, merugikan seluruh masyarakat.
Menyadari urgensi ini, KPK tidak lagi hanya fokus pada penindakan. Melalui Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU), KPK mengambil langkah proaktif untuk membangun ekosistem dunia usaha yang bersih dan berintegritas. Direktorat AKBU memahami bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Daripada menunggu korupsi terjadi dan kemudian menindak pelakunya, mereka memilih untuk bergerak di hulu, yaitu membenahi sistem dan proses bisnis itu sendiri.
Sepanjang semester pertama tahun 2025, Direktorat AKBU telah menunjukkan komitmen kuatnya. Mereka tidak bekerja sendirian. Dengan berkolaborasi bersama berbagai kementerian, lembaga, dan pihak swasta, mereka merancang dan mengimplementasikan berbagai program pencegahan. Upaya ini mencakup banyak hal, mulai dari perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa, peningkatan transparansi perizinan, hingga edukasi tentang risiko korupsi dan pentingnya integritas. Tujuannya sederhana, yaitu menutup celah-celah yang selama ini seringkali dimanfaatkan untuk praktik suap, gratifikasi, dan pemerasan.
Langkah-langkah ini menunjukkan pergeseran paradigma dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Fokusnya kini adalah menciptakan lingkungan yang tidak ramah bagi korupsi. Sektor swasta tidak lagi dilihat hanya sebagai sasaran penindakan, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam perang melawan korupsi. Dengan membenahi proses bisnis agar lebih transparan dan akuntabel, kita bisa memutus mata rantai korupsi. Pada akhirnya, integritas bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi menjadi budaya yang mengakar kuat di seluruh sendi perekonomian bangsa. (bp).